JAHE
(Zingiber
Officinale)
Oleh: Eko
Wahyono
=bagian 2=
1. Hama
Hama yang dijumpai pada tanaman jahe
adalah:
1. Kepik, menyerang daun tanaman hingga
berlubang-lubang.
2. Ulat penggesek akar, menyerang akar tanaman
jahe hingga menyebabkan tanaman jahe menjadi kering dan mati.
3. Kumbang.
2. Penyakit
a. Penyakit layu bakteri
Gejala: Mula-mula helaian daun bagian
bawah melipat dan menggulung kemudian terjadi perubahan warna dari hijau
menjadi kuning dan mengering. Kemudian tunas batang menjadi busuk dan akhirnya
tanaman mati rebah. Bila diperhatikan, rimpang yang sakit itu berwarna gelap dan
sedikit membusuk, kalau rimpang dipotong akan keluar lendir berwarna putih susu
sampai kecoklatan. Penyakit ini menyerang tanaman jahe pada umur 3-4 bulan dan
yang paling berpengaruh adalah faktor suhu udara yang dingin, genangan air dan
kondisi tanah yang terlalu lembab.
Pengendalian: jaminan kesehatan bibit
jahe; karantina tanaman jahe yang terkena penyakit; pengendalian dengan
pengolahan tanah yang baik; pengendalian fungisida dithane M-45 (0,25%),
Bavistin (0,25%).
b. Penyakit busuk rimpang
Penyakit ini dapat masuk ke bibit
rimpang jahe melalui lukanya. Ia akan tumbuh dengan baik pada suhu udara 20-25
derajat C dan terus berkembang akhirnya menyebabkan rimpang menjadi busuk.
Gejala: daun bagian bawah yang berubah
menjadi kuning lalu layu dan akhirnya tanaman mati.
Pengendalian: penggunaan bibit yang
sehat; penerapan pola tanam yang baik; penggunaan fungisida.
c.
Penyakit bercak daun
Penyakit ini dapat menular dengan
bantuan angin, akan masuk melalui luka maupun tanpa luka.
Gejala: pada daun yang bercak-bercak
berukuran 3-5 mm, selanjutnya bercak-bercak itu berwarna abu-abu dan di tengahnya
terdapat bintik-bintik berwarna hitam, sedangkan pinggirnya busuk basah.
Tanaman yang terserang bisa mati.
Pengendalian: baik tindakan pencegahan
maupun penyemprotan penyakit bercak daun sama halnya dengan cara-cara yang
dijelaskan di atas.
3. Gulma
Gulma potensial pada pertanaman temu
lawak adalah gulma kebun antara lain adalah rumput teki, alang-alang, ageratum,
dan gulma berdaun lebar lainnya.
4. Pengendalian hama/penyakit secara organik
Dalam pertanian organik yang tidak
menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya melainkan dengan bahan-bahan yang ramah
lingkungan biasanya dilakukan secara terpadu sejak awal pertanaman untuk
menghindari serangan hama dan penyakit tersebut yang dikenal dengan PHT
(Pengendalian Hama Terpadu) yang komponennya adalah sbb:
1. Mengusahakan pertumbuhan tanaman yang sehat
yaitu memilih bibit unggul yang sehat bebas dari hama dan penyakit serta tahan
terhadap serangan hama dari sejak awal pertanaman
2. Memanfaatkan semaksimal mungkin musuh-musuh
alami
3. Menggunakan varietas-varietas unggul yang
tahan terhadap serangan hama dan penyakit.
4. Menggunakan pengendalian fisik/mekanik
yaitu dengan tenaga manusia.
5. Menggunakan teknik-teknik budidaya yang
baik misalnya budidaya tumpang sari dengan pemilihan tanaman yang saling
menunjang, serta rotasi tanaman pada setiap masa tanamnya untuk memutuskan
siklus penyebaran hama dan penyakit potensial.
6. Penggunaan pestisida, insektisida,
herbisida alami yang ramah lingkungan dan tidak menimbulkan residu toksik baik
pada bahan tanaman yang dipanen maupun pada tanah. Di samping itu penggunaan
bahan ini hanya dalam keadaan darurat berdasarkan aras kerusakan ekonomi yang
diperoleh dari hasil pengamatan.
Beberapa tanaman yang dapat
dimanfaatkan sebagai pestisida nabati dan digunakan dalam pengendalian hama
antara lain adalah:
1. Tembakau (Nicotiana tabacum) yang
mengandung nikotin untuk insektisida kontak sebagai fumigan atau racun perut.
Aplikasi untuk serangga kecil misalnya Aphids.
2. Piretrum (Chrysanthemum cinerariaefolium)
yang mengandung piretrin yang dapat digunakan sebagai insektisida sistemik yang
menyerang urat syaraf pusat yang aplikasinya dengan semprotan. Aplikasi pada
serangga seperti lalat rumah, nyamuk, kutu, hama gudang, dan lalat buah.
3. Tuba (Derris elliptica dan Derris malaccensis)
yang mengandung rotenone untuk insektisida kontak yang diformulasikan dalam
bentuk hembusan dan semprotan.
4. Neem tree atau mimba (Azadirachta indica)
yang mengandung azadirachtin yang bekerjanya cukup selektif. Aplikasi racun ini
terutama pada serangga penghisap seperti wereng dan serangga pengunyah seperti
hama penggulung daun (Cnaphalocrocis medinalis). Bahan ini juga efektif untuk
menanggulangi serangan virus RSV, GSV dan Tungro.
5. Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) yang
bijinya mengandung rotenoid yaitu pakhirizida yang dapat digunakan sebagai
insektisida dan larvasida.
6. Jeringau (Acorus calamus) yang rimpangnya
mengandung komponen utama asaron dan biasanya digunakan untuk racun serangga
dan pembasmi cendawan, serta hama gudang Callosobrocus.
H. Panen
1. Ciri dan Umur Panen : Pemanenan dilakukan
tergantung dari penggunaan jahe itu sendiri. Bila kebutuhan untuk bumbu
penyedap masakan, maka tanaman jahe sudah bisa ditanam pada umur kurang lebih 4
bulan dengan cara mematahkan sebagian rimpang dan sisanya dibiarkan sampai tua.
Apabila jahe untuk dipasarkan maka jahe dipanen setelah cukup tua. Umur tanaman
jahe yang sudah bisa dipanen antara 10-12 bulan, dengan ciri-ciri warna daun
berubah dari hijau menjadi kuning dan batang semua mengering. Misal tanaman
jahe gajah akan mengering pada umur 8 bulan dan akan berlangsung selama 15 hari
atau lebih.
2. Cara Panen : Cara panen yang baik, tanah
dibongkar dengan hati-hati menggunakan alat garpu atau cangkul, diusahakan
jangan sampai rimpang jahe terluka. Selanjutnya tanah dan kotoran lainnya yang
menempel pada rimpang dibersihkan dan bila perlu dicuci. Sesudah itu jahe
dijemur di atas papan atau daun pisang kira-kira selama 1 minggu. Tempat
penyimpanan harus terbuka, tidak lembab dan penumpukannya jangan terlalu tinggi
melainkan agak disebar.
3. Periode Panen. : Waktu panen sebaiknya
dilakukan sebelum musim hujan, yaitu di antara bulan Juni – Agustus. Saat panen
biasanya ditandai dengan mengeringnya bagian atas tanah. Namun demikian apabila
tidak sempat dipanen pada musim kemarau tahun pertama ini sebaiknya dilakukan
pada musim kemarau tahun berikutnya. Pemanenan pada musim hujan menyebabkan
rusaknya rimpang dan menurunkan kualitas rimpang sehubungan dengan rendahnya
bahan aktif karena lebih banyak kadar airnya.
4. Perkiraan Hasil Panen : Produksi rimpang
segar untuk klon jahe gajah berkisar antara 15-25 ton/hektar, sedangkan untuk
klon jahe emprit atau jahe sunti berkisar antara 10-15 ton/hektar.
I. Pascapanen
1. Penyortiran Basah dan Pencucian : Sortasi
pada bahan segar dilakukan untuk memisahkan rimpang dari kotoran berupa tanah,
sisa tanaman, dan gulma. Setelah selesai, timbang jumlah bahan hasil
penyortiran dan tempatkan dalam wadah plastik untuk pencucian. Pencucian dilakukan
dengan air bersih, jika perlu disemprot dengan air bertekanan tinggi. Amati air
bilasannya dan jika masih terlihat kotor lakukan pembilasan sekali atau dua
kali lagi. Hindari pencucian yang terlalu lama agar kualitas dan senyawa aktif
yang terkandung didalam tidak larut dalam air. Pemakaian air sungai harus
dihindari karena dikhawatirkan telah tercemar kotoran dan banyak mengandung
bakteri/penyakit. Setelah pencucian selesai, tiriskan dalam tray/wadah yang
belubang-lubang agar sisa air cucian yang tertinggal dapat dipisahkan, setelah
itu tempatkan dalam wadah plastik/ember.
2. Perajangan : Jika perlu proses perajangan,
lakukan dengan pisau stainless steel dan alasi bahan yang akan dirajang dengan
talenan. Perajangan rimpang dilakukan melintang dengan ketebalan kira-kira 5 mm
– 7 mm. Setelah perajangan, timbang hasilnya dan taruh dalam wadah
plastik/ember. Perajangan dapat dilakukan secara manual atau dengan mesin
pemotong.
3. Pengeringan : Pengeringan dapat dilakukan
dengan 2 cara, yaitu dengan sinar matahari atau alat pemanas/oven. pengeringan
rimpang dilakukan selama 3 - 5 hari, atau setelah kadar airnya dibawah 8%.
pengeringan dengan sinar matahari dilakukan diatas tikar atau rangka pengering,
pastikan rimpang tidak saling menumpuk. Selama pengeringan harus dibolak-balik
kira-kira setiap 4 jam sekali agar pengeringan merata. Lindungi rimpang
tersebut dari air, udara yang lembab dan dari bahan-bahan di sekitarnya yang
bisa mengkontaminasi. Pengeringan di dalam oven dilakukan pada suhu 50 ° C - 60
° C. Rimpang yang akan dikeringkan ditaruh di atas tray oven dan pastikan bahwa
rimpang tidak saling menumpuk. Setelah pengeringan, timbang jumlah rimpang yang
dihasilkan
4. Penyortiran Kering: Selanjutnya lakukan
sortasi kering pada bahan yang telah dikeringkan dengan cara memisahkan
bahan-bahan dari benda-benda asing seperti kerikil, tanah atau kotoran-kotoran
lain. Timbang jumlah rimpang hasil penyortiran ini (untuk menghitung
rendemennya).
5. Pengemasan: Setelah bersih, rimpang yang
kering dikumpulkan dalam wadah kantong plastik atau karung yang bersih dan
kedap udara (belum pernah dipakai sebelumnya). Berikan label yang jelas pada
wadah tersebut, yang menjelaskan nama bahan, bagian dari tanaman bahan itu,
nomor/kode produksi, nama/alamat penghasil, berat bersih dan metode
penyimpanannya.
6. Penyimpanan : Kondisi gudang harus dijaga
agar tidak lembab dan suhu tidak melebihi 30 ° C dan gudang harus memiliki
ventilasi baik dan lancar, tidak bocor, terhindar dari kontaminasi bahan lain
yang menurunkan kualitas bahan yang bersangkutan, memiliki penerangan yang
cukup (hindari dari sinar matahari langsung), serta bersih dan terbebas dari
hama gudang. Download artikel lengkap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar